Selasa, 10 Agustus 2010

BUDAYA YANG TAK PATUT DI TIRU

SETENGAH JAJAHAN & SETENGAH FEODAL
Indonesia, negeri mahakaya dengan tingkat kemiskinan penduduk yang tinggi. Demikian, ironi klise yang masih lestari dan terus meregenerasi. Negeri kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya alam yang melimpah ini, rakyatnya ‘dipaksa’ hidup dalam kondisi yang memprihatinkan akibat praktik penghisapan yang berlangsung selama ratusan tahun.
Selama beratus-ratus tahun itu pula, tercatat sejak masuknya kolonialisme Belanda, rakyat Nusantara dengan gigih terus berjuang demi kemerdekaan atas tanah airnya. Beragam penyelidikan, penyimpulan, serta upaya perjuangan dicobakan, namun belum juga menghadirkan perubahan yang signifikan. Perjuanganpun diwariskan dari generasi ke generasi, dari mulai yang bersifat kedaerahan di bawah kepemimpinan bangsawan lokal, hingga perlawanan yang dianggap sebagai puncak prestasi, yakni Revolusi Agustus 1945. Namun demikian, upaya yang panjang dan berdarah-darah tersebut masih belum mampu menciptakan kemerdekaan yang hakiki bagi rakyat Indonesia. Berbagai alasan melatarbelakngi kekalahan demi kekalahan perjuangan rakyat ini, dari mulai kuat dan liciknya musuh, berkhianatnya kaum bangsawan dan intelektual, hingga kurang tepatnya mendiagnosa permasalahan dan merumuskan strategi perjuangan.
Alhasil, hari ini penderitaan rakyat Indonesia semakin akut. Kaum tani sebagai mayoritas penduduk terus menjerit karena semakin tergusur dari tanahnya. Dengan tingkat pengetahuan dan sarana pertanian terbatas, mereka terus dipecut agar tetap memproduksi bahan baku murah guna memenuhi kebutuhan industri imperialis. Sementara itu, nasib klas buruh kian pahit dan tidak menentu dengan semakin kompleksnya penindasan yang mereka alami. Setelah upah murah dan pelarangan berserikat, hari ini pemerintah boneka menerbitkan regulasi pro-pemodal mengenai ‘kerja kontrak’ dan ‘outsourcing’. Kondisi ini semakin diperparah dengan ancaman PHK yang semakin nyata akibat dibukannya area-area perdagangan bebas internasional yang mengancam industri-industri dalam negeri.

Kondisi yang juga memprihatinkan dialami oleh pemuda. Pemuda sebagai calon arsitek peradaban rakyat terus dikebiri hak-haknya dan dilemahkan kesadaran politiknya. Pemerintah boneka telah menyia-nyiakan potensi pemuda dengan memberlakukan liberalisasi pendidikan yang menyebabkan mahalnya ongkos pendidikan sehingga banyak pemuda yang tidak bisa sekolah atau kuliah. Sebagai pelarian dari keadaan yang tidak berpihak, banyak dari mereka yang berteman dengan narkoba, atau tak jarang berbuat kejahatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi hidup ala borjuasi seperti yang dicontohkan oleh sinetron-sinetron remaja di televisi. Di sekolah dan kampus, pelajar dan mahasiswa semakin dijauhkan dari ilmu pengetahuan yang ilmiah, dan terus dicekoki teori-teori borjuasi sehingga mereka semakin terasing dari rakyatnya. Pasca lulus dari bangku akademik, pemuda kembali harus menelan pil pahit akibat sempitnya lapangan pekerjaan dan terbelakangnya industri yang ada.
Dalam perjuangan politik, sejatinya pemuda telah membuktikan kesetiannya dalam mendukung perjuangan rakyat. Di setiap upaya perubahan sosial, pemuda yang memiliki energi dan mobilitas yang tinggi kerap kali hadir sebagai pemantik dan motor perlawanan rakyat. Pada masa pra-kemerdekaan, organisasi pemuda, seperti Boedi Oetomo, Pesindo, dan yang lainnya menjadi corong bagi suara perlawanan rakyat, termasuk juga dalam momentum perjuangan politik lainnya, seperti Malari ’74 dan Reformasi ’98. Atas dasar inilah kiranya musuh-musuh rakyat terus mengasingkan pemuda dari peran sejarahnya.
Kondisi rakyat yang semakin memburuk, niscaya tidak akan pernah terobati jika sistem sosial Setengah Jajahan - Setengah Feodal (SJ-SF) tidak dihancurkan. Imperialisme, Feodalisme, dan Kapitalisme birokrat harus dimusnahkan dengan kekuatan persatuan klas buruh dan kaum tani, serta dukungan dari sektor tertindas lainnya, terutama pemuda. Hari ini adalah giliran kita melanjutkan perjuangan. Kitalah sang Anak Zaman dengan semangat anti-imperialisme, anti-feodalisme, dan anti-kapitalisme birokrasi.

II. Keadaan Alam dan Masyarakat Indonesia
A. Keadaan Alam
Indonesia merupakan negeri kepulauan terbesar di dunia, sekaligus menduduki tempat istimewa dalam percaturan ekonomi, politik, dan budaya dunia. Terdapat 17.508 pulau, dengan lima buah pulau besar, yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Kedudukannya yang diapit oleh dua buah samudera besar (Hindia dan Pasifik) serta menjadi jalur penghubung dua benua (Asia dan Australia), sangat menguntungkan dan strategis sebagai jalur perdagangan dunia. Kontur daratan umumnya terdiri dari pegunungan, lembah, sabana, serta sungai, yang sangat cocok untuk kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan, serta berbagai bentuk usaha produksi lainnya.

Hutan tropis di Indonesia menjadi paru-paru dunia, dengan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah terlengkap di dunia. Keadaan ini sangat penting peranannya dalam mempertahankan iklim global dan keseimbangan ekosistem. Kemudian, baik di daratan, perairan maupun lepas pantai Indonesia, terkandung jutaan matrik ton bahan mineral, batu bara, gas alam, tembaga, emas, minyak bumi, bijih nikel, bijih besi dan timah yang menjadi sumber energi utama industri modern yang menggerakkan peradaban umat manusia di dunia ini.



B. Masyarakat
Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 202 juta orang, dan diprediksi bertambah menjadi 231 juta orang pada tahun 2009, Dalam setiap tahun, laju pertumbuhan penduduk tercatat 2,6 juta. BPS memperkirakan dengan pertumbuhan penduduk seperti 10 tahun lalu maka jumlah penduduk Indonesia pada 2025 akan mencapai 263 juta orang. Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa yang memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri. Populasi penduduk dan sumber daya agraria yang melimpah, sudah seharusnya dijadikan modal untuk kesejahteraan massa rakyat. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan akibat penindasan sistem feodalisme dan imperialisme, yang menghambat perkembangan tenaga produktif dalam mengolah sumber daya alam yang melimpah tersebut untuk kemakmuran rakyatnya.

Beberapa data tentang Indonesia :

1. Jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional menyatakan bahwa angka kemiskinan per Maret 2009 adalah 32,53 juta (14,15 persen dari total penduduk). Tidak ada jaminan angka ini akan berkurang. Pasalnya, krisis global, angka perampasan tanah, angka PHK menunjukan kenaikan.

2. Tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Berdasar survey Badan Perencanaan dan Pembangunan nasional tahun 2009, tercatat 4,1 juta, atau sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja menganggur. Angka ini dinilai akan terus melonjak seiring dengan krisis global dan masuknya Indonesia dalam sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, termasuk China-Asean Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku tahun 2010.

3. Upah yang diterima oleh buruh di Indonesia tercatat sebagai upah yang sangat rendah. Indonesia merupakan negara dengan upah buruh nomor 6 terendah di dunia setelah Vietnam,Thailand, India, Filipina dan Cina. Upah buruh di Indonesia rata-rata untuk buruh yang bekerja di sektor industri manufaktur pada tahun 2002 hanya berkisar Rp 663,4 ribu rupiah. Buruh di Indonesia hidup dalam kemiskinan yang amat dalam, kesulitan dalam mencukupi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Belum lagi kesempatan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan juga tidak terjangkau.

4. Jutaan orang terpaksa bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan jaminan keamanan dan keselamatan kerja yang rendah serta kondisi hidup sangat memprihatinkan. Hingga akhir 2009, total TKI yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia sekitar 6 juta orang. Dari angka tersebut, diduga 25 persennya merupakan TKI ilegal. Di kawasan ASEAN, TKI paling banyak diserap oleh Malaysia, yakni 2 juta orang. Setiap tahunnya, pemasukan TKI bagi negara mencapai Rp. 95 Triliun. Tingginya pelanggaran ketenagakerjaan, baik yang terungkap maupun tidak, dari mulai penganiayaan, penelantaran, pemerkosaan, pembunuhan, maupun kecelakaan kerja, memperlihatkan bagaimana penderitaan TKI di luar negeri.

5. Petani di Indonesia sebagian besar merupakan tani miskin dan buruh tani karena tidak memiliki tanah. Ketimpangan struktur penguasaan tanah semakin hari semakin parah. Petani yang tidak mempunyai lahan (buruh tani) dan petani yang diistilahkan ‘gurem’ (berlahan sempit, kurang dari 0,5 hektar) semakin hari kian meningkat, dengan laju pertambahan 2,2 persen per tahun. Pada 2007, sebanyak 24.257 kepala keluarga (KK) tergusur lahannya. Pada 2008, angka ini meningkat menjadi 31.267 KK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar